.....
Ternyata Demian adalah teman les Anty. Ia anak yang baik dan kocak. Ia juga tampan dan keren. Kami pun cepat akrab dan banyak bercanda. Setelah puas ngobrol, aku dan Demian pergi ke toko buku. Kami menghabiskan banyak waktu bersama di sana. Ternyata, Demian juga menyukai buku sama sepertiku. Bersama Demian sampai pukul 6 sore sungguh tak terasa. Karena sudah malam dan Anty tidak juga datang, akhirnya kami pun memutuskan untuk pulang. Setelah bertukaran nomor telepon, Demian pun mengantarkanku pulang.
0000
Sejak saat itu aku sering bertemu dengan Demian. Tak beberapa lama, aku sudah berpacaran dengannya.Saat bertemu dengan Anty di sekolah. Aku agak ragu memberitahu Anty mengenai Demian. Tapi, kurasa Anty harus tahu.
“Ty, thx ya. Gw jadian sama Demian.” bisikku saat duduk di sebelah Anty.
“Masa? Selamat ya! Kok thx sih?” tanyanya penuh semangat. Headset yang dikenakan di telinga kanannya pun dilepaskan.
“ Ya, gara-gara lo kan gw bisa kenal sama Demian. Dan gara-gara lo juga gw bakal menang lawan Sica.” jelasku singkat. Tapi sepertinya Anty tidak puas dengan jawabanku.
“Lexa, lo masih mau jadiin Demian buat taruhan lo sama Sica?” tanyanya tak percaya.
“Ya iya lah. Kenapa gak? Yaudah deh, gw ke depan dulu ya. Bye!” sela ku. Anty kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
0000
Hari ini hari terakhir taruhanku, sesuai perjanjian aku akan bertemu dengan Sica di taman sekolah membawa pacar kami masing-masing. Aku sangat percaya diri, karena aku tidak mungkin kalah. Sedangkan Sica belum tentu sudah memiliki pacar. Aku pun pergi ke taman bersama Anty dan Anggi. Di sana telah ada Sica bersama Deby dan Anta, sahabatnya.
“Mana cowok lo?” tanyaku pada Sica. Sica hanya senyum-senyum licik.
“Lagi di jalan. Cowok lo sendiri mana? Gak punya ya?” sentaknya sambil memainkan rambutnya.
“Cowok gw bentar lagi juga datang kok.” beberku tak mau kalah.
“Wehh. Masa sih? Kayaknya itu cowok bayangan lo deh.”
“Maksud lo?” bentakku.
“Kita lihat aja cowok siapa yang lebih keren. Siapin mental aja minta maaf dan jadi pembantu gw, harus sportif ya.” Sica menutup pembicaraan sambil mengibaskan rambutnya.
0000
Tak beberapa lama, dari kejauhan kulihat Demian datang dengan motornya. Hatiku gembira bukan kepalang. Demian tampil stylist dengan kemeja ungu muda dan dasi hitam. Tak sabar aku menunggunya, aku pun memanggilnya. Motor Demian pun semakin mendekat.
“Demian!” Aku dan Sica berbicara bersamaan. Kami sontak bertukar pandang. Aku menatap sinis dirinya.
“Ngapain lo?” Kami kembali berbicara serempak. Kami saling bertukar pandang jijik lagi. Ia menjauh beberapa langkah dari tempatnya berdiri.
“Dia tuh cowok gw, jangan sok kenal deh lo.” jelasku penuh rasa bangga.
“Cowok lo? Mimpi ya? Demian tuh cowok gw tau.” balas Sica. Ia lalu mendorongku terjatuh ke tanah. Merasa tak terima, akupun mendorongnya. Aku menarik rambutnya seperti ia menjambak rambutku juga.
“Cowok gw.” jeritku.
“Cowok gw.” jerit Sica tak mau kalah.
“Stop!!!” perintah Anty. Anty, Anggi, Deby, dan Anta. Mereka pun berusaha memisahkan kami. Demian yang sudah sampai juga sibuk memisahkan kami.
Akhirnya kami dijauhkan. Namun, naluriku masih ingin menjambak rambutnya.
“Demian. Apa maksudnya ini?” Sica mengomel, ingin memegang tangan Demian. Demian hanya terdiam.
“Demian?” tanyaku menekankan.
“Demian itu emang pacar kalian berdua.” jelas Deby, yang dibarengi anggukan kepala Anty, Anggi, dan Anta.
“Apa maksud lo?” ucapku kesal.
"Kok kalian ngangguk bareng?” Sica melepas tangan Demian. Ia mendengus kesal juga.
“Asal lo tahu, Demian itu gay, gak suka sama cewek. Gw suruh dia buat pura-pura jadi pacar lo berdua.” tutur Anty.
“Lo gila ya, Ty? Ngomong apa sih?” Aku langsung menghampiri Anty.
“Serius. Kita semua sepakat buat ngerjain ini. Kalian itu sebenarnya cocok banget jadi temen bukan saingan. Gak cape apa bersaing mulu?” Anty menjelaskan dengan nada bijaksananya.
“Bullshit! Apa-apaan nih? Demian?” Sica menarik Demian.
“Terserah mau percaya atau gak. Lo berdua gak ngerasa cara kalian bisa kenalan sama Demian aneh.” ujar Anty. Sontak aku dan Sica terdiam. Mengingat aku kenal Demian karena Anty.
“Semua yang diomongin mereka bener, gw emang gay. Gw pura-pura jadi pacar lo berdua.” Akhirnya Demian buka suara.
“Dem, lo gak mungkin bener kan?” Air mataku nyaris jatuh mengetahui yang sebenarnya. Demian terdiam. “Maaf” lanjutnya singkat.
“Kenapa? Kenapa” Sica pun seperti hampir menangis, tak percaya dapat dibohongi seperti ini.
"Maaf." ucap Demian lagi.
“Kalian berdua tuh sama-sama sombong. Selalu merasa hebat dan bersaing satu sama lain. Kita tuh sayang sama kalian, kita gak mau kalian kayak gini terus. Kita tuh cuma pengen lo sadar, lo berdua emang sama-sama hebat. Tapi sekarang terbukti sehebat-hebatnya orang pasti ada yang lebih hebat lagi. Buktinya, sekarang kalian bisa dibohongi sama Demian kan. Dan mau tahu kenapa? Ini tuh karena kalian gak mikir pakai akal sehat. Kalian semua sama-sama terobsesi buat jadi pemenang dari taruhan ini kan, gak mikir panjang.” beber Deby. Aku dan Sica tertunduk. Aku malu untuk mengakui bahwa memang betul itulah yang kurasakan.
“Kita tuh bukannya jahat sama kalian berdua. Kita tuh cuma pengen lo pada akur, jadi temen deket. Lo berdua itu sama-sama baik, cuma terlalu jaga gengsi masing-masing aja. Saingan itu gak bakal pernah habis.” Anggi pun ikut menjelaskan. Kurasakan mukaku panas, seperti ada api yang membaranya.
“Sekarang kita mohon, kalian berdua jabat tangan ya.” Anggi mengambil inisiatif.
Anggi pun menarik tanganku dan tangan Sica. Entah mengapa, aku merasa sangat tersentuh. Perlahan, aku pun mengulurkan tanganku. Tak kusangka, Sica pun mengulurkan tangannya. Kami pun bergandengan.
“Sory ya, Xa.” Sica berbisik kepadaku.
“Harusnya gw yang bilang itu. Sory ya, Ca.” balasku juga. Kami pun tertawa dan berpelukkan. Saat itu yang dapat kudenger hanya tepuk tangan riuh.
“Nah, gitu dong. Selamat ya, lo berdua menang. Gw salut sama lo berdua.” teriak Anggi diikuti jeritan riuh yang lain.
“Ciyeee.. Yang udah baikkan.” ejek Damian. Mendengar ejekkan Damian, aku pun berbisik ke telinga Sica. Sica pun tersenyum mendengarnya.
“Satu, dua..” Aku menghitung. Pada hitungan ketiga, kami berlari mengejar Demian. Demian tentu saja berlari sekuat tenaganya menjauhi kami. "Ampun.."
Anty, Anggi, Deby dan Anta hanya tertawa..
E.N.D
But Not The End