. A piece of Candy: Esai Bahasa

Laman

Kamis, 19 Juli 2012

Esai Bahasa

Bahasa “Slang” dan
Pengikisan Identitas Bangsa Indonesia
By : Candy Claudia 


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa dapat menjadi salah satu indikator yang digunakan dalam menilai suatu bangsa. Bahasa menjadi suatu simbol kebersamaan dan menunjukkan identitas bangsa itu sendiri. Indonesia adalah negara yang besar yang memiliki jumlah suku bangsa terbanyak di dunia, yaitu mencapai 740 lebih suku bangsa/etnis. Dengan jumlah suku bangsa yang sebanyak itu, tak heran bila Indonesia menjadi negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak, yaitu 583 dialek dari 67 bahasa induk. Indonesia sendiri memiliki sebuah bahasa pemersatu atau bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia ialah bahasa resmi bangsa Indonesia. Namun, pasti tak banyak yang tahu bagaimana sejarahnya. Apakah bahasa Indonesia tercipta begitu saja? Apakah bahasa Indonesia penting untuk dilestarikan? Perkembangan dan modernitas yang terjadi sekarang ini menjadikan pertanyaan-pertanyaan di atas semakin terlupakan oleh masyarakat. Masyarakat, terlebih generasi muda makin menganggap sepele hal tersebut karena terkikis oleh penggunaan bahasa gaul atau bahasa “slang”.

Bahasa Indonesia sesungguhnya tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu Riau yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan yang bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Indonesia sendiri baru dicanangkan pada saat kongres nasional kedua di Jakarta. Soekarno saat itu tidak memilih bahasanya sendiri, bahasa  Jawa sebagai bahasa nasional karena bahasa Jawa lebih sukar dipelajari serta memiliki penggunaan yang berbeda pada orang yang berbeda usia, derajat, maupun pangkat. Dengan penggunaan bahasa Jawa juga dikhawatirkan dapat memberikan perasaan dijajah bagi suku bangsa lain yang minoritas.
Secara  sosiologis, dapat dikatakan bahasa Indonesia baru lahir tanggal 28 Oktober 1928 saat sumpah pemuda. Namun secara yuridis, tanggal 18 Agustus 1945 lah bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi negara.

Selain bahasa Indonesia, generasi muda Indonesia memiliki bahasa yang tak tertulis atau sering disebut bahasa “slang” atau bahasa gaul. Bahasa ini tidak sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia, namun kebanyakkan adalah pelesetan dari bahasa Indonesia. Hal ini menghawatirkan mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa pokok bangsa Indonesia, namun keberadaannya sudah cenderung dilupakan.

Menelisik ke belakang, bahasa gaul atau slang merupakan bahasa anak-anak remaja yang digunakan sebagai bahasa sandi. Bahasa ini mulai dikenal dan digunakan sekitar tahun 1970. Awalnya bahasa ini merupakan bahasanya “anak jalanan/preman” karena biasanya digunakan oleh para prokem (sebutan untuk para preman) sebagai kata sandi yang hanya dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Maka dari itu, bahasa gaul saat itu lebih dikenal dengan istilah bahasa prokem. Penggunaan bahasa prokem sendiri memilik rumus tertentu, yaitu dengan menambahkan imbuhan kata “ok” di belakangnya. Dalam penggunaannya, kata ok diselipkan setelah huruf awal dan untuk huruf terakhir dihilangkan. Contohnya saja untuk pembentukan kata bokap (bapak + ok), boker (berak + ok) dan gokil (gila + ok). Namun, untuk kasus tertentu, seperti pembokat, nyokap, dan doku penerapannya akan berbeda.
Kata pembantu akan berubah menjadi pembokat, yang berasal dari pembantu + ok. Kata nyak (ibu) akan berubah menjadi nyokap, yang berasal dari kata nyak + ok. Dan untuk kata duit akan berubah menjadi doku, yang berasal dari kata duit + ok. Huruf dari kata asal yang digunakan hanya 2, d dan u.

Selain dengan menggunakan rumus tersebut, ada juga bahasa “slang” yang muncul setelah dipelopori oleh seorang aktris yaitu Debby Sahertian. Bahasa “slang” Debby sesungguhnya adalah bahasa yang kerapkali digunakan oleh kaum “gay”. Namun, makin marak digunakan setelah Debby menerbitkan sebuah kamus bahasa gaul pada tahun 1999.
Contoh dari bahasa Debby ini adalah kata akika yang berasal dari aku, begindang yang berasal dari kata begitu, belalang yang berasal dari kata beli, bagaskara yang berasal dari kata bagus, telenovela yang berasal dari kata telepon, batako atau batara yang berasal dari kata batuk, dan masih banyak lagi. Namun, yang membingungkan dalam penggunaan bahasa “slang” ini satu kata gaul dapat memiliki dua arti, seperti pada kata “balik baku” yang bisa berarti pulang ke rumah atau balik sama pacar.

Seiring berjalannya waktu, penggunaan bahasa slang ini masih terus dilanjutkan, dimana lama-kelamaan sudah menjadi kebiasaan dan sebuah simbol eksistensi remaja masa kini. Penggunaan bahasa slang ini sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang sangat buruk. Justru, ada kalanya penggunaan bahasa ini dapat menambah khazanah kekayaan bahasa Indonesia sendiri, sehingga lebih beragam.
Namun, penggunaannya akan menjadi sebuah masalah bila bahasa slang telah menggeser posisi bahasa Indonesia atau mengalami interferensi pada bahasa Indonesia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan interferensi adalah masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatika bahasa yang menyerap.
Interferensi inilah yang perlu kita waspadai dapat menenggelamkan keberadaan bahasa Indonesia.

Bila diperhatikan, bahasa slang atau gaul masa sekarang banyak yang tidak jelas siapa pencipta awalnya, karena banyak sekali orang yang mengakui sebagai pembuat kata-kata itu.
Salah satu bahasa gaul adalah kata ember, kata ini merupakan singkatan dari kata “Memang begitu”. Kata ini pertama kali dipopulerkan oleh Titi DJ yang secara tidak sengaja menyebutnya saat menjawab pertanyaan wartawan. Sejak itu, kata ini sering digunakan dalam berbagai kesempatan. Istilah atau kata yang seperti ini masih bisa diterima, karena hanya merupakan sebuah singkatan dari bahasa Indonesia.
Namun lain halnya dengan kata yang dipopulerkan oleh Debby yang jelas-jelas sudah sangat melenceng dari arti yang sebenarnya pada bahasa Indonesia. Seperti kata begindang yang jauh sekali hubungannya dengan kata begitu.

Masih banyak lagi bahasa “slang” yang nyatanya sangat menyimpang dan dapat menginterferensi bahasa Indonesia. Contohnya saja pada kata jayus dan garing. Kata jayus populer di tahun90 an dan masih sering digunakan hingga kini. Konon, ada seorang anak di daerah Kemang yang bernama Herman Setiabudhi yang kerap dipanggil Jayus oleh teman-temannya. Jayus sendiri adalah nama ayah dari Herman (lengkapnya Jayus kelana) yang seorang pelukis di kawasan Blok M. Herman alias Jayus adalah anak yang sering melawak tapi lawakkannya tidak lucu.
Garing memiliki arti yang hampir serupa dengan kata jayus, yaitu sesuatu yang tidak lucu. Kedua bahasa ini saja sudah menjadi interferensi bagi bahasa Indonesia. Penggunaan kata garing dalam bahasa Indonesia yang berarti sesuatu yang renyah, menjadi memiliki makna yang berbeda dalam percakapan sehari-hari.
Contoh lainnya terdapat pada kata unyu. Kata unyu terkenal melalui jejaring sosial twitter. Hampir semua remaja zaman sekarang akan menggunakan bahasa ini untuk menunjukkan sesuatu yang lucu. Dari sini, dapat kita lihat bahwa bahasa unyu ini sudah menginterferensi bahasa Indonesia. Kata lucu dalam bahasa Indonesia sendiri sudah kalah “tenar” dengan kata unyu.

Kata lain dalam bahasa gaul yang terkenal adalah “gue” dan “lo”. Saya yakin, hampir semua yang membaca tulisan ini, dari segala generasi pasti mengetahui kata-kata tersebut. Memang bahasa ini telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menambah khazanah kekayaan bahasa Indonesia, namun tetap saja sebagai bahasa yang tak baku. Bahasa yang menjadi bahasa Indonesia karena penggunaan yang sudah terlalu sering. Padahal, kedua kata ini adalah terjemahan dari bahasa Hokkien Tiongkok. “Gue” adalah terjemahan dari wa. Dan “lo” adalah terjemahan dari lu. Kata ini dulunya digunakan oleh etnis Betawi.
Hal ini cukup memprihatinkan, mengingat sekarang ini, pastilah sesuatu yang langka bagi kita untuk  mendengar penggunaan kata aku dan kamu di kalangan para remaja terutama yang berdomisili di Jakarta. Ada, tapi mungkin dapat terhitung dengan jari jumlahnya. Kebanyakkan remaja sekarang akan menggunakan kata “gua” dan “lo” sebagai penggantinya, bahkan ketika bersama orangtuanya.
                                                        
Hal ini bisa terjadi karena “kebiasaan” yang dibiarkan begitu saja. Kebiasaan yang sudah mendarah daging yang lama-kelamaan dijadikan sesuatu yang dianggap wajar. Tak heran bila kebanyakkan masyarakat sekarang tahu pasti ejaan bahasa gaul tapi tidak mengerti ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal tanpa disadari, jati diri bangsa dipertaruhkan disini. Nilai-nilai kesopanan juga akan menjadi bias. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional perlahan tersisihkan dengan kehadiran bahasa gaul ini. Bangsa lain juga bukan tidak mungkin malah lebih mengenal bahasa slang ini daripada bahasa Indonesia, karena yang sering digunakan adalah bahasa slang. Disini lah, identitas bangsa sudah tergoyahkan. Bagaimana bangsa Indonesia dapat dikenal dan bersatu kalau bangsanya saja tidak menghargai bahasanya sendiri? Bahasa yang seharusnya sudah mendarah daging dan menjadi identitas kebangsaannya.  

Sebagai remaja harusnya kita dapat menghargai bahasa Indonesia yang sudah menjadi bahasa persatuan kita ini. Bukan sebuah larangan untuk menggunakan bahasa gaul, namun belajar untuk mengurangi intensitasnya, setidaknya berikan kesempatan bagi bahasa Indonesia untuk menujukkan keberadaanya. Karena bagaimanapun juga, dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, berarti ikut serta memajukan identitas dan perkembangan bangsa Indonesia sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya disini.. :)