Bahasa “Slang”
dan
Pengikisan
Identitas Bangsa Indonesia
By : Candy
Claudia
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa dapat menjadi salah satu indikator
yang digunakan dalam menilai suatu bangsa. Bahasa menjadi suatu simbol
kebersamaan dan menunjukkan identitas bangsa itu sendiri. Indonesia adalah negara
yang besar yang memiliki jumlah suku bangsa terbanyak di dunia, yaitu mencapai
740 lebih suku bangsa/etnis. Dengan
jumlah suku bangsa yang sebanyak itu, tak heran bila Indonesia menjadi negara
yang memiliki bahasa daerah terbanyak, yaitu 583 dialek dari 67 bahasa
induk. Indonesia sendiri memiliki sebuah bahasa pemersatu atau bahasa
nasional yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa
Indonesia ialah bahasa resmi bangsa Indonesia. Namun, pasti tak banyak yang
tahu bagaimana sejarahnya. Apakah bahasa Indonesia tercipta begitu saja? Apakah
bahasa Indonesia penting untuk dilestarikan? Perkembangan dan modernitas yang
terjadi sekarang ini menjadikan pertanyaan-pertanyaan di atas semakin
terlupakan oleh masyarakat. Masyarakat, terlebih generasi muda makin menganggap
sepele hal tersebut karena terkikis oleh penggunaan bahasa gaul atau bahasa “slang”.
Bahasa
Indonesia sesungguhnya tumbuh dan
berkembang dari bahasa Melayu Riau yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan
sebagai bahasa perhubungan yang bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan
juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Indonesia sendiri baru dicanangkan
pada saat kongres nasional kedua di Jakarta. Soekarno saat itu tidak memilih
bahasanya sendiri, bahasa Jawa sebagai
bahasa nasional karena bahasa Jawa lebih sukar dipelajari serta memiliki
penggunaan yang berbeda pada orang yang berbeda usia, derajat, maupun pangkat. Dengan
penggunaan bahasa Jawa juga dikhawatirkan dapat memberikan perasaan dijajah
bagi suku bangsa lain yang minoritas.
Secara sosiologis,
dapat dikatakan bahasa Indonesia baru lahir tanggal 28 Oktober 1928 saat sumpah
pemuda. Namun secara yuridis, tanggal 18 Agustus 1945 lah bahasa Indonesia
menjadi bahasa resmi negara.
Selain bahasa Indonesia, generasi muda Indonesia memiliki
bahasa yang tak tertulis atau sering disebut bahasa “slang” atau bahasa gaul. Bahasa ini tidak sesuai dengan kamus besar
bahasa Indonesia, namun kebanyakkan adalah pelesetan dari bahasa Indonesia. Hal
ini menghawatirkan mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa pokok bangsa
Indonesia, namun keberadaannya sudah cenderung dilupakan.
Menelisik ke belakang, bahasa gaul atau slang merupakan
bahasa anak-anak remaja yang digunakan sebagai bahasa sandi. Bahasa ini mulai dikenal
dan digunakan sekitar tahun 1970. Awalnya bahasa ini merupakan bahasanya “anak
jalanan/preman” karena biasanya digunakan oleh para prokem (sebutan untuk para
preman) sebagai kata sandi yang hanya dimengerti oleh kelompok mereka sendiri.
Maka dari itu, bahasa gaul saat itu lebih dikenal dengan istilah bahasa prokem.
Penggunaan bahasa prokem sendiri memilik rumus tertentu, yaitu dengan
menambahkan imbuhan kata “ok” di belakangnya. Dalam penggunaannya,
kata ok diselipkan setelah huruf awal dan untuk huruf terakhir dihilangkan.
Contohnya saja untuk pembentukan kata bokap (bapak + ok), boker (berak + ok)
dan gokil (gila + ok). Namun, untuk kasus tertentu, seperti pembokat, nyokap,
dan doku penerapannya akan berbeda.
Kata pembantu akan berubah menjadi pembokat, yang berasal dari pembantu + ok. Kata nyak (ibu) akan berubah menjadi nyokap, yang berasal dari kata nyak + ok. Dan untuk kata duit akan berubah menjadi doku, yang berasal dari kata duit + ok. Huruf dari kata asal yang digunakan hanya 2, d dan u.
Selain dengan menggunakan rumus tersebut, ada juga bahasa
“slang” yang muncul setelah dipelopori oleh seorang aktris yaitu Debby
Sahertian. Bahasa “slang” Debby sesungguhnya adalah bahasa yang kerapkali
digunakan oleh kaum “gay”. Namun, makin marak digunakan setelah Debby
menerbitkan sebuah kamus bahasa gaul pada tahun 1999.
Contoh dari bahasa Debby ini adalah kata akika yang berasal
dari aku, begindang yang berasal dari kata begitu, belalang yang berasal dari
kata beli, bagaskara yang berasal dari kata bagus, telenovela yang berasal dari
kata telepon, batako atau batara yang berasal dari kata batuk, dan masih banyak
lagi. Namun, yang membingungkan dalam penggunaan bahasa “slang” ini satu kata
gaul dapat memiliki dua arti, seperti pada kata “balik baku” yang bisa berarti
pulang ke rumah atau balik sama pacar.
Seiring berjalannya waktu, penggunaan bahasa slang ini masih
terus dilanjutkan, dimana lama-kelamaan sudah menjadi kebiasaan dan sebuah
simbol eksistensi remaja masa kini. Penggunaan bahasa slang ini sebenarnya
bukan merupakan sesuatu yang sangat buruk. Justru, ada kalanya penggunaan
bahasa ini dapat menambah khazanah kekayaan bahasa Indonesia sendiri, sehingga
lebih beragam.
Namun, penggunaannya akan menjadi sebuah masalah bila bahasa
slang telah menggeser posisi bahasa Indonesia atau mengalami interferensi pada
bahasa Indonesia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan
interferensi adalah masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat
melanggar kaidah gramatika bahasa yang menyerap.
Interferensi inilah yang perlu kita waspadai dapat
menenggelamkan keberadaan bahasa Indonesia.
Bila diperhatikan, bahasa slang atau gaul masa sekarang banyak
yang tidak jelas siapa pencipta awalnya, karena banyak sekali orang yang
mengakui sebagai pembuat kata-kata itu.
Salah satu bahasa gaul adalah kata ember, kata ini merupakan singkatan
dari kata “Memang begitu”. Kata ini pertama kali dipopulerkan oleh Titi DJ yang
secara tidak sengaja menyebutnya saat menjawab pertanyaan wartawan. Sejak itu,
kata ini sering digunakan dalam berbagai kesempatan. Istilah atau kata yang
seperti ini masih bisa diterima, karena hanya merupakan sebuah singkatan dari
bahasa Indonesia.
Namun lain halnya dengan kata yang dipopulerkan oleh Debby
yang jelas-jelas sudah sangat melenceng dari arti yang sebenarnya pada bahasa
Indonesia. Seperti kata begindang yang jauh sekali hubungannya dengan kata
begitu.
Masih banyak lagi bahasa “slang” yang nyatanya sangat
menyimpang dan dapat menginterferensi bahasa Indonesia. Contohnya saja pada
kata jayus dan garing. Kata jayus populer di tahun90 an dan masih sering
digunakan hingga kini. Konon, ada seorang anak di daerah Kemang yang bernama
Herman Setiabudhi yang kerap dipanggil Jayus oleh teman-temannya. Jayus sendiri
adalah nama ayah dari Herman (lengkapnya Jayus kelana) yang seorang pelukis di
kawasan Blok M. Herman alias Jayus adalah anak yang sering melawak tapi
lawakkannya tidak lucu.
Garing memiliki arti yang hampir serupa dengan kata jayus,
yaitu sesuatu yang tidak lucu. Kedua bahasa ini saja sudah menjadi interferensi
bagi bahasa Indonesia. Penggunaan kata garing dalam bahasa Indonesia yang
berarti sesuatu yang renyah, menjadi memiliki makna yang berbeda dalam
percakapan sehari-hari.
Contoh lainnya terdapat pada kata unyu. Kata unyu terkenal
melalui jejaring sosial twitter. Hampir semua remaja zaman sekarang akan
menggunakan bahasa ini untuk menunjukkan sesuatu yang lucu. Dari sini, dapat
kita lihat bahwa bahasa unyu ini sudah menginterferensi bahasa Indonesia. Kata
lucu dalam bahasa Indonesia sendiri sudah kalah “tenar” dengan kata unyu.
Kata lain dalam bahasa gaul yang terkenal adalah “gue” dan
“lo”. Saya yakin, hampir semua yang membaca tulisan ini, dari segala generasi
pasti mengetahui kata-kata tersebut. Memang bahasa ini telah masuk dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dan menambah khazanah kekayaan bahasa Indonesia, namun
tetap saja sebagai bahasa yang tak baku. Bahasa yang menjadi bahasa Indonesia
karena penggunaan yang sudah terlalu sering. Padahal, kedua kata ini adalah
terjemahan dari bahasa Hokkien Tiongkok. “Gue” adalah terjemahan dari wa. Dan
“lo” adalah terjemahan dari lu. Kata ini dulunya digunakan oleh etnis Betawi.
Hal ini cukup memprihatinkan, mengingat sekarang ini,
pastilah sesuatu yang langka bagi kita untuk
mendengar penggunaan kata aku dan kamu di kalangan para remaja terutama
yang berdomisili di Jakarta. Ada, tapi mungkin dapat terhitung dengan jari
jumlahnya. Kebanyakkan remaja sekarang akan menggunakan kata “gua” dan “lo”
sebagai penggantinya, bahkan ketika bersama orangtuanya.
Hal ini bisa terjadi karena “kebiasaan” yang dibiarkan begitu
saja. Kebiasaan yang sudah mendarah daging yang lama-kelamaan dijadikan sesuatu
yang dianggap wajar. Tak heran bila kebanyakkan masyarakat sekarang tahu pasti
ejaan bahasa gaul tapi tidak mengerti ejaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Padahal tanpa disadari, jati diri bangsa dipertaruhkan disini. Nilai-nilai
kesopanan juga akan menjadi bias. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional
perlahan tersisihkan dengan kehadiran bahasa gaul ini. Bangsa lain juga bukan
tidak mungkin malah lebih mengenal bahasa slang ini daripada bahasa Indonesia,
karena yang sering digunakan adalah bahasa slang. Disini lah, identitas bangsa
sudah tergoyahkan. Bagaimana bangsa Indonesia dapat dikenal dan bersatu kalau
bangsanya saja tidak menghargai bahasanya sendiri? Bahasa yang seharusnya sudah
mendarah daging dan menjadi identitas kebangsaannya.
Sebagai remaja harusnya kita dapat menghargai bahasa
Indonesia yang sudah menjadi bahasa persatuan kita ini. Bukan sebuah larangan
untuk menggunakan bahasa gaul, namun belajar untuk mengurangi intensitasnya,
setidaknya berikan kesempatan bagi bahasa Indonesia untuk menujukkan
keberadaanya. Karena bagaimanapun juga, dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, berarti ikut serta memajukan identitas dan perkembangan
bangsa Indonesia sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarnya disini.. :)