. A piece of Candy: Cerpen - Taruhan (Part 1)

Laman

Sabtu, 25 Juni 2011

Cerpen - Taruhan (Part 1)

“Gak usah belagu deh lo! Apa sih hebatnya lo? Muka rata gitu!” seruku lantang. Saat itu di kelas sedang ramai, dan perkelahian kami tentu saja menarik banyak perhatian. Banyak mata menatap kami. Tapi aku tak ragu lagi. Sica harus diberi pelajaran.
“Sorry, apa kata lo? Rata? Situ oke? Tolong ya, obat muka gw aja lebih mahal dari muka lo.” Sica balas mengejekku. Bila dapat kugambarkan, wajahnya saat itu semerah tomat. Bukannya karena malu, tapi kurasa ia pasti sangatlah marah. Sebenarnya muka Sica itu tidak rata, cantik malah. Namun, dia adalah sainganku. Tidak mungkin kan aku mengatakan yang sebenarnya.  Dalam segala hal, aku selalu berseberangan dengannya, mulai dari nilai pelajaran di sekolah, mencari  popularitas di sekolah, sampai saingan dalam hal berdagang. Persaingan kami sebenarnya dimulai dari pertempuran merebut pelanggan, kebetulan rumahnya ada di depan rumahku, kami sama-sama berdagang. Aku menjual baju dan ia menjual tas. Sejak saat itu, kami selalu bersaing.
“Maksud lo muka gw murah gitu? Ngaca, muka palsu gitu, obat semua juga!” sengitku. Aku tak mau kalah.
“Hey, please deh ya. Gak usah katro lo!” Sica tambah sewot. Aku ingin sekali membalas, tapi sayang Pak Genus keburu datang dan memisahkan kami.
“Kalian itu apa-apaan sih? Udah berantem berapa kali coba? Uda gede kok masih kayak anak kecil sih sikapnya.” ujar Pak Genus lembut. Aku dan Sica hanya diam, namun mata kami saling bertatap-tatapan. “Sebagai hukumannya, sekarang kalian bersihin wc!” Pak Genus melanjutkan perkataanya. Aku dan Sica pun terpaksa mengerjakan hukuman itu karena Pak Genus mengawasi kami. Namun, ketika Pak Genus meninggalkan kami di WC, pertempuran pun terjadi.
“ Lexa, awas lo ya!” ancam Sica. Aku hanya mememandangnya sekilas.
“Apa? Lo mau apain gw? Ha? Cewek kayak lo emang bisa apa sih?” ejekku. Sica kelihatan marah mendengar ucapanku.
“Setidaknya gw sering pacaran. Gak kayak lo!” balasnya. Ia kelihatan bangga mengucapkan itu. Sunggingan senyumnya itu membuatku muak.
“Bangga gitu sering pacaran? Please deh ya, hari gini.” ucapku.
“Bangga lah ya. Emang lo bisa? Lo aja belum tentu bisa.” balasnya lagi.
“Maksud lo? Mau taruhan sama gw?” tantangku tanpa rasa takut. Tapi, jauh di dalam, sejujurnya hatiku sedikit takut juga.
“Oke, taruhan apa?” Sica tampak sangat tertarik dengan pertarungan ini. Mungkin ia merasa ia pasti dapat memenangkannya.
“Taruhin siapa yang bisa dapetin cowok duluan dalam sebulan!” usulku. Aku sendiri kaget mengapa aku bisa mengeluarkan kata-kata itu. Rasanya seperti bukan aku yang mengatakannya.
“Oke. Tapi harus ada imbalannya dong buat yang menang!” ujar Sica. Aku pun langsung menyetujuinya.
“Siapa takut! Mau imbalan apa lo?"
“Gimana kalau yang kalah harus jadi pembantu yang menang selama sebulan dan minta maaf sama yang menang di depan semua orang?” tantangnya.
“Oke. Deal.” tuturku lantang.
“Deal. Sportif ya, gak ada curang.” Pesan Sica. Aku pun mengangguk. Kami buru-buru menyelesaikan tugas kami masing-masing. Setelah itu kami meninggalkan WC tanpa saling berbicara satu sama lain.

0000

“Alexa Candreline Fenestasia, lo gila ya? Lo masih mau taruhan sama Sica?” teriak Anty, sahabatku saat aku bercerita tentang taruhanku dengan Sica. Raut mukanya terlihat tak percaya ketika ia mengatakan itu.
“Ya, habis mau gimana. Dia duluan yang mulai. Kalau gw gak kayak gini, bakal belagu banget dia.” bela ku. Aku tahu reaksi Anty akan seperti ini, ia cenderung anak yang tidak pernah mencari masalah.
“Lo bisa gak sih sekali aja gak berantem sama Sica? Apa susahnya sih berteman gitu.”  keluhnya. Mukanya ditekuk sedemikian lupa.
“Dia yang nyolot. Gw gak mungkin diam aja dong, Ty.” seruku sambil menyunggingkan senyuman. Anty hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikapku. Sebagai sahabatku, ia pasti sudah tahu tabiatku. Ketika aku memutuskan sesuatu, berarti aku sudah siap menghadapi semua resikonya.
“Oke lah. Sekarang lo mau sama siapa?” tantang Anty. Aku berpikir sejenak. Akupun menggelengkan kepala.
“Noh kan. Kalau gak kita bayar orang aja buat pura-pura gitu.” usul Anty. Ia terlihat begitu yakin saat mengatakannya.
“Gak. Gw mau ini fair, gak main belakang gitu. Gw yakin, Sica pasti pikirannya sama kayak gw.” ujarku sambil merapikan dasi seragamku ini. “Uda deh lo tenang aja ya. Oke?” sambungku.
“Terserah lo aja deh, Xa.” jawab Anty sekenanya.

0000

Hari ini hari Minggu, sekaligus hari kedua setelah aku melakukan taruhan dengan Sica. Desiran angin melambai-lambai di sekitar jendela kamarku, membawa ranah sejuk di sekitar. Alunan ringtone HP ku tiba-tiba berdering membangunkanku dari tidurku. Kulirik HP ku sekilas, telepon dari Anty.
 “Xa, ke mall yuk. Sama Anggi.” ajak Anty hari itu. Aku pun menyetujuinya.
“Hm. Oke. Jam berapa?” tanyaku.
“Jam 1 an jah. Jangan telat. Ntar ketemuan di mall biasa ya.” Anty pun menutup teleponnya. Aku pun   bergegas mandi dan mengerjakan semua tugasku sebelum pergi nanti.

0000

Sesampainya di mall, aku menuju ke kafe Anelia, tempat biasa aku nongkrong dengan Anty dan yang lain. Lokasinya di pojokkan mall, jadi tidak terlalu berisik. Di jamku sekarang sudah tertera pukul 12.50, namun sosok Anty dan yang lain belum juga tampak. Aku menelepon ke nomor mereka berkali-kali tapi tidak diangkat juga.  Akhirnya aku memutuskan untuk langsung memesan minumanku. Namun, bukan minuman yang datang, sesosok cowok malah datang menghampiriku. Aku tak tahu siapa dia, namun tiba-tiba ia sudah duduk di depanku.
“Hey, Lexa ya?” sapanya sopan. Aku ingin sekali memakinya saat itu, namun sosok di depanku ini membuatku tak bisa bicara. Wajahnya tampan, bak artis, matanya biru, rambutnya yang cukup panjang dibiarkan terurai sebahu, ia juga tinggi dan putih.
“Iya, siapa ya? Lo kenal gw?” tanyaku. Ia pun tersenyum kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenalin, gw Demian.” Ia mengulurkan tangannya. Aku pun menyambut uluran tangannya.
“Gw Lexa. Lo tahu gw dari mana? tanyaku lagi. Aku tak ingat pernah bertemu ia sebelumnya.
“Gw disuruh Anty kesini.” jelas Demian.
“Oh?” Aku masih bertanya-tanya di dalam hati. Tiba-tiba HP ku berdering tanda ada SMS yang masuk. Aku pun segera membuka inbox pesanku.
                      Lexa, lo ama Demian dulu ya, gw sama Anggi ada urusan bentar.
                                                                                                           from : Anty  
Segera aku menekan nomor telepon Anty, namun tak ada yang mengangkat. Nomor Anggi juga sama, nadanya sibuk terus. Putus asa, akhirnya kumasukkan kembali HP ku.
“Bentar lagi mereka datang kok.” jelas Demian hangat.
“Lo kok bisa disini?” sela ku penasaran.
“Tadi kata Anty mau ketemuan disini. Tapi, tiba-tiba tuh anak bilang ada urusan bentar, suruh gw temuin lo disini. Daripada garing, gw kesini juga aja deh. Boleh kan?” tanyanya sambil tersenyum. Demian terlihat baik dan sopan, jadi kuiyakan saja. Ia pun memesan minumannya juga.

.....................................................................
                                                                                    to be continue..
                                                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya disini.. :)